Wisata  

Koh Panyee: Desa Terapung di Thailand Yang Dihuni Umat Muslim Dari Jawa

Desa Terapung di Thailand Yang Dihuni Umat Muslim Dari Jawa
Desa Terapung di Thailand Yang Dihuni Umat Muslim Dari Jawa

KECEHINTECH – Koh Panyee (Ko Pnayi) adalah desa terapung yang terletak di Laut Andaman, Thailand. Desa terapung ini didirikan oleh tiga orang nelayan asal Jawa pada sekitar 200 tahun silam. Saat ini, desa terapung Koh Panyee telah menampung 400 keluarga dan dihuni oleh seribu orang lebih.

Semua penduduk di desa Koh Panyee menganut agama Islam, sehingga desa ini juga sering disebut sebagai Muslim Village atau desa muslim. Saat ini, desa Koh Panyee telah jauh berkembang dibandingkan sejak pertama didirikan.

Saat ini, desa terapung Koh Panyee telah memiliki beragam fasilitas dan saranan publik, seperti rumah sakit, sekolah, sumur air tawar, toko, dan lain sebagainya. Bahkan yang menarik, desa Koh Panyee juga memiliki lapangan sepak bola terapung.

Di sekitar Laut Andaman tepatnya pada lepas pantai Thailand Selatan berdiri sebuah desa terapung bernama gopani dengan Mayoritas penduduk beragama Islam tersembunyi di sebuah Teluk di selatan Thailand yang dilindungi oleh formasi batuan kapur yang sangat besar dengan tinggi sekitar 20 meter dan menampung lebih dari 400 keluarga dengan total penduduk 1680 orang yang merupakan keturunan dari tiga keluarga muslim.

Penjelajah laut asal Jawa kampung terapung ini didirikan pada sekitar 200 tahun silam oleh 3 keluarga nelayan keturunan Jawa tiga orang ini mencari lokasi yang bagus untuk menangkap ikan mereka berlayar menyusuri garis pantai Malaysia menuju Laut Andaman.

Baca Juga :   iPad mini Apple diskon 150 Ribuan, Penawaran Teknologi Terbaik Saat Ini

Hingga akhirnya mereka sampai di perairan Thailand dan menemukan sebuah pulau yang terletak di provinsi mana ketika menemukan tempat yang diinginkan mereka memberitahu kepada nelayan-nelayan lain dengan mengibarkan bendera di atas puncak bukit sehingga orang lain dapat bergabung dengan mereka untuk menjadikan tempat tinggal mereka.

Mereka menemukan tempat berlindung di dekat batu kapur besar lalu mengibarkan bendera di atasnya banyak orang mulai bergabung dengan tiga orang nelayan tersebut dan mulai membangun desa hingga kemudian desa tersebut kini menampung 400 keluarga dengan hidup di atas air mereka dengan cerdik telah menghindari hukum Thailand.

Dimana undang-undang Thailand menyatakan bahwa orang asing tidak diizinkan untuk memiliki tanah di Thailand ketika kemudian semakin banyak turis datang ke Thailand dan menjadikan desa copanya sebagai salah satu objek wisata favorit pada akhirnya warga pendatang dari Jawa tersebut mendapatkan hak kepemilikan tanah.

Berkat nikah keluarga nelayan yang menemukan tempat ini dan memutuskan untuk menetap di sana terbentuklah sebuah desa yang lengkap dengan hampir semua fasilitas yang dimiliki oleh desa-desa lain hal pertama yang dibangun oleh penduduk kompany.

Saat itu adalah sumur air tawar serta maki dan saat ini desa popangi juga memiliki satu sekolah di mana anak-anak memiliki kelas dan menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari museum kecil restoran dan tentu saja peternakan ikan juga memiliki sebuah hotel sederhana.

Baca Juga :   Misteri di Balik Keindahan Telaga Sarangan

Yang mengarah ke rumah-rumah penduduk jaringan Jalan Setapak dan toko-toko kecil semuanya menjual kaos batik dan barang-barang yang terbuat dari kerang dan salah satu bagian paling menarik dari Desa terapung ini adalah adanya tiga lapangan sepak bola terapung sepak bola terapung tersebut dibangun setelah Piala Dunia tahun 1986 yang terbuat dari kayu.

Harga company berupaya secara kolektif untuk menciptakan ruang rekreasi dan permainan sehingga terciptalah lapangan sepak bola yang menentang tantangan geografis di lokasi tersebut di masa lalu sebagian besar penduduk desa ini hidup dengan memancing dan menjaring ikan, namun saat ini pariwisata juga telah menjadi sumber pendapatan yang berkembang.

Sayangnya saat ini hanya generasi tua di desa komani yang masih menggunakan bahasa Indonesia sedangkan generasi muda telah berani menggunakan bahasa Thailand dan saat ini perluasan wilayah di desa ini sudah tidak lagi memungkinkan karena itu untuk generasi mendatang mereka harus mencari tempat tinggal karena tidak akan bertahan lama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *